Membaca, berjalan dan beraksi. Tiga hal yang perlu engkau selami selagi
muda. Syukur-syukur, bisa kaututup dengan menikah di saat muda juga.
Membaca melatihmu menjadi pemikir. Berjalan dan beraksi adalah training
untuk menjadi pemimpin. Bukankah setiap manusia terlahir dengan misi
untuk menjadi pemimpin, setidaknya untuk diri sendiri? Waktu luang itu
lebih berharga dari uang. Jika selagi
muda tidak berjalan sebanyak-banyaknya (biarpun modal juga pas-pasan),
maka saat beranjak dewasa dan uangmu cukup banyak tetapi kesibukanmu
juga menggunung, waktu benar-benar tidak bisa dibeli. Lagipula, berjalan
di saat muda dan penuh perjuangan, memberikan kesan yang sangat berbeda
dengan wisata ketika engkau berkecukupan. Menikahlah sebelum mapan,
agar keluargamu tumbuh dewasa bersama kesulitan-kesulitan. Supaya anak
anak kenyang menyaksikan, betapa ajaibnya kekuasaan Allah. Jangan sampai
kita membesarkan anak anak, yang tak paham bahwa berjuang adalah nafas
kehidupan.
Pada umur 23 tahun, sudah kusambangi negeri kita
dari Tembagapura sampai Kutaraja (Banda Aceh). Dari Kuala Kencana sampai
Pulau Weh. Dari kubangan emas sampai tanah para syuhada. Dari Gunung
Klabat sampai Setabat. Eksotika negeri, kemakmuran, dan kemirisan yang
bercampur.
Kadang kukurangi jatah makan (yang juga tak banyak)
untuk membeli bacaan bermutu. Kalau itu tak memungkinkan, kuberselancar
ke perpustakaan.
Tak peduli hanya bermodal untuk bis atau
kereta atau kapal kelas ekonomi, menyeberang dengan kapal nelayan. Entah
berapa kali tersesat, kena tipu, kena jambret, atau kadang ada perilaku
tidak menyenangkan di antara himpitan orang. Menyadarkan betapa
lemahnya kita, betapa kepasrahan itu wajib. Lebih seringnya, aku terima
banyak kebaikan. Ya, aku menjadi saksi sejuta wajah manusia. Bertarung
dengan keseharian yang harus mereka jalani. Yang begini tak bisa
kudapatkan dari membaca.
Bukan saatnya lagi ketika dewasa,
kemudian engkau bergumam: “Selama ini aku tak tahu wajah asli negeriku.
Aku pikir ini negeri kolam susu, yang tongkat kayu jadi tanaman seperti
dendang Koes Plus. Kemewahan alam ini justru menjadi kutukan. Warga yang
hidup di dalamnya, justru menjadi kaum terpinggirkan.” Waduh, kemana
saja selama ini Masbro Mbaksis?
Lalu, engkaupun menjadi galau
di saat tiba waktumu untuk menjadi bagian dari solusi. Alih-alih
menawarkan solusi, engkau bingung mengurai masalah negeri ini apa.
Segala sesuatu ada masanya, kawan. Kelompok yang serba takjub dengan
realita negeri tercinta, karena mereka jarang berkelana. Bagaimana
mungkin engkau merasa punya cita-cita mulia untuk negeri ini, tetapi
engkau tidak paham realita yang ada?
Setiap hari engkau makan
beras, pernahkah engkau tahu bagaimana buruh tani menjalani hidup
mereka? Jam berapa mereka bangun dan tantangan apa saja yang harus
mereka hadapi? Berapa biaya operasional satu hektar sawah? Berapa harga
bibit, pupuk, dan biaya paska panen? Hidupmu tak bisa pisah dari tempe,
tahu, dan kecap. Pernahkah setidaknya engkau peduli, apakah produksi
kedelai kita masih bersaing? Buat yang suka menyeruput kopi atau coklat
entah di warung kopi atau di mall-mall, pernahkah terbersit di hatimu
bagaimana biji kopi dan coklat bisa sampai padamu? Belum lagi soal cabe,
bawang, sabun, atau hal-hal lain yang kita pakai sehari-hari. Mengapa
kita perlu punya ideologi untuk menghidupkan produksi dan menggunakan
produk domestik, tanpa harus menutup diri dari dunia luar.
Bolehlah engkau bangga dengan foto-foto pengembaraanmu di Paris, London,
atau Costa del Sol seperti tembang Maher Zain. Tidak ada salahnya
engkau bangga menjadi bagian dari MNC, NGO, atau apapun itu. Jika engkau
percaya bahwa misimu di dunia adalah menjadi pemimpin, maka
bercengkerama dengan jutaan manusia Indonesia yang membentang di
kepulauan yang besar ini, harus engkau masukkan dalam agendamu. Boleh
engkau nikmati keindahan negeri ini. Hutan tropis, pantai dengan riuh
ombak, gunung perkasa yang ingin kautaklukkan. Jangan lupa,
berinteraksilah dengan manusianya. Masak menjadi sahabat alam, tetapi
asing kepada manusia dan para penghuninya? Sebisa mungkin, tinggalkan
jejak yang baik dimanapun kamu berada. Pahatkan aksi dan kebaikan yang
akan menjadi tanda bahwa engkau pernah hadir bersama mereka.
Segala sesuatu ada masanya. Kalau mau berdemo, lakukan saat mahasiswa.
Tidak perlu menunggu sampai usiamu menginjak 40 tahun, apalagi 50 tahun.
Itu jatah waktu anakmu untuk turun ke jalan mengekspresikan darah muda
mereka. Engkau akan was-was, jika selagi muda tak punya pengalaman itu.
Padahal, itu adalah ekspresi biasa selama tidak anarkis.
Jika
semua training itu kaujalani, kemudian tiba waktumu jadi pemimpin, dan
engkau berkhianat, mengambil apa yang bukan menjadi hakmu,
maka,,,,,pilihlah sendiri hukuman apa yang cocok untukmu? Haruskah kami
memancungmu bersama-sama? Inilah masalah besar negeri ini, ketika kita
memilih seseorang menjadi pemimpin, padahal jelas-jelas mereka tidak ada
CV dan jejak rekam yang bisa kita jadikan referensi.
by. ibu sidrotu naim (Boston)